Kalian pastinya tidak asing lagi dengan cerita rakyat Malin Kundang kan?
Kisah anak yang durhaka kepada ibunya.
Cerita rakyat Malin Kundang yang dikutuk oleh ibunya sendiri menjadi batu.
Kenapa Malin Kundang sampai dikutuk bahkan oleh ibunya sendiri ?
Simak Cerita Rakyat Malin Kundang lebih lengkapnya di bawah ini.
Cerita Rakyat Malin Kundang
Dahulu kala, di pesisir pantai hiduplah seorang janda miskin bernama Mande Rubayah.
Meskipun miskin janda ini selalu merawat anak – anaknya dengan baik.
Ia selalu bersemangat mencari ikan untuk dijual dan hasilnya dibelikan beras untuk makan anak – anaknya.
Seringkali janda ini menahan lapar demi perut anak – anaknya.
Selain itu, ia tak mengenal Lelah mencari nafkah agar anak – anaknya tidak kekurangan pangan.
Mande Rubiyah memang janda yang sangat tabah dan kuat, sekalipun perawakannya ringkih, kecil dan hitam.
Siang ini, Mande Rubiyah yang merupakan ibu dari Malin Kundang baru saja pulang dari mencari ikan.
Ia duduk di emperan rumahnya dan juga membersihkan ikan hasil tangkapan miliknya untuk dijual nanti sore.
Keringatnya bercucuran di seluruh pelipisnya.
“Ibu, biar Malin bantu ya!” ucap Malin kecil.
Dahulu, saat malin kecil adalah anak yang penurut dan berbakti kepada ibunya.
“Baik nak, terimakasih sudah mau membantu ibu.” Jawab Mande Rubiyah.
Kemudian Mande Rubiyah pergi ke dapur untuk memasak nasi untuk makan malam.
Ikanpun selesai dibersihkan oleh Malin.
Malin selalu rajin membantu karena dia anak yang paling besar.
Ayah Malin sudah lama meninggal akibat suatu penyakit.
Kini, Malin adalah anak seorang janda yang miskin.
Kehidupannya semakin prihatin semenjak ayahnya meninggal dunia.
Sore harinya, Malin mengantar ikan hasil tangkapan ibunya untuk dijual ke pengepul dengan ditemani adiknya.
Uang hasil penjualan yang tak seberapa itu diberikan kepada ibunya untuk dibelikan beras.
Sungguh prihatin hidup Malin.
“Anak – anak, yuk bermain layang – layang di tepi pantai?” ajak Mande Rubiyah kepada anak – anaknya.
Hati mereka sangat senang dapat bermain layang – layang.
Tiba – tiba dari kejauhan tampak kapal besar sedang mendekati bibir pantai.
“Ibu, lihatlah ada kapal besar menuju pantai!” ucap Malin.
“Oh, itu Kapal muatan barang.
Ada Uwak Areh di sana, uwak bekerja di kapal itu.
Sekarang ia sudah sukses menjadi saudagar.” Jawab Mande Rubiyah.
“Wah, besok saat sudah besar nanti aku juga ingin menjadi seperti uwak, berlayar menjadi saudagar yang kaya raya.“ kata Malin kepada ibunya.
Ibunya pun mengamini.
Hari demi hari, Malin tumbuh menjadi remaja.
Ia masih sering membantu ibunya menangkap ikan dan berjualan di pasar.
Setelah pulang berdagang ia mencari kayu bakar di kebun untuk memasak ibunya.
Adiknya, membantu mengambil air bersih dari sungai untuk memasak.
Mereka saling bekerja sama.
Malin yang kini tumbuh dewasa, sering berkhayal dan bermimpi menjadi pedagang besar yang berlayar mengelilingi dunia untuk menjual barang dagangannya.
Saat sedang berkhayal, kemudian tampaklah kapal besar menghampiri bibir pantai.
Kapal yang sangat jarang singgah di pesisir tempat Malin tinggal.
Melihat kapal tersebut Malin sangat ingin merantau menumpangi kapal tersebut.
Namun, niatnya ditolak oleh ibundanya karena ibundanya sangat khawatir jika Malin merantau jauh.
Namun, Malin tetap memaksa pergi merantau dan berjanji kepada ibunya akan segera pulang saat sudah sukses serta akan membahagiakan ibundanya itu.
Akhirnya, Mande Rubiyah mengizinkannya dan membekali Malin dengan doa agar keselamatan dan kesuksesan menyertainya.
Dengan berat hati, Mande Rubyah melepas kepergian Malin.
Ia terus menatap kapal besar yang membawa anaknya itu sampai kapal tak tampak dari bibir pantai.
Bulan berganti bulan, dan ini sudah tahun ke 12 Malin meninggalkan rumah dan ibunya.
Kondisi ibu Malin sudah semakin tua.
Tangannya yang hitam kini berkeriput, namun anak kesayangannya yang pergi merantau tak kunjung pulang.
Dinantinya si Malin setiap hari di depan pintu. Namun ia tak kunjung pulang.
Sore ini, Mande Rubiyah tengah menyapu di halaman rumahnya.
Tiba – tiba terdengar peluit kapal besar.
Ia sangat senang, sebab beliau pikir itu kapal si Malin.
Namun, ternyata uwak yang turun dari kapal itu.
“Hai, Mande Rubiyah apakah kau sedang mencari Malin?
Malin telah menjadi orang kaya raya dan menikah dengan putri raja yang sangat cantik dan kini ia bergelimang harta.
Jadi, mustahil jika dia akan pulang ke rumah reot ini.” Kata uwak menceritakan kondisi Malin.
“Itu tak mungkin, kalau saja Malin sudah menikah pasti akan mengabariku dan akan mengijinkanku terlibat di acara pernikahannya.” Jawab Mande Rubiyah.
Mendengar jawaban Mande Rubyah, uwak pun berlalu sambal menggelengkan kepalanya.
Mande Rubyah yang tadinya bersemangat kini terduduk lesu.
“Jangan khawatir, meskipun dia tak mungkin pulang.
Tapi Malin ada rencana ke pulau ini menuruti istrinya yang sedang hamil muda, ini kesempatan untukmu bertemu anakmu.”
“Benarkah?” tanya Mande Rubiyah
“Ya.” Jawab uwak.
Benar saja, seminggu kemudian tampaklah kapal dan suara peluitnya mendekati bibir pantai.
Orang – orang berbondong – bondong menyambutnya tak terkecuali Mande Rubiyah.
Saat kapal mulai mendekat, tampaklah sepasang muda – mudi di depan kapal dengan pakaian yang sangat indah.
“Itu Malin.” Gumam Mande Rubiyah.
Pasangan itupun turun menapaki pasir di pinggir pantai.
Akibat terlalu banyak orang yang menyambutnya, akhirnya Mande Rubiyah tidak bisa langsung bertemu Malin Kundang.
Ia harus berdesak – desakan demi memeluk tubuh anaknya yang sudah sangat lama dirindukannya.
Melewati celah kerumunan, Mande Rubiyah menerobosnya dan berhasil tepat berada di depan Malin.
“Malin, kau kah anakku? Kau sungguh sangat gagah dan telah sukses nak!.” Ucap Mande Rubyah sembari memeluk tubuh Malin.
Namun, Malin segera mendorongnya.
Awalnya ia tak yakin bahwa wanita tua berkeriput tersebut adalah ibunya.
“Siapa perempuan ini? Apa kau bilang barusan wahai nenek tua?
Mana mungkin suamiku yang turunan bangsawan memiliki ibu jelek sepertimu.” Ucap istri Malin.
“Malin, benar ini ibumu nak! Ucap Mande Rubyah berusaha meyakinkan kembali.
Namun, Malin tak bergeming ia malu terhadap istrinya mengakui kondisi dan siapa ibunya.
“Pergi menjauh dariku! Aku tak memiliki ibu jelek sepertimu.” Ucap Malin sangat melukai hati ibundaanya.
Merekapun kemudian kembali menaiki kapal, istri Malin bukannya pamit malah meludah.
Hati Mande Rubyah sangatlah sakit kala itu.
Lalu ia berdoa kepada Tuhannya agar Tuhan memberi keadilan seadil – adilnya untuk Malin yang sudah durhaka tidak mau mengakui ibunya sendiri.
Tak selang dari keberangkatan malin, tiba – tiba kilat sambar menyambar di langit Sumatra Barat, badai besar kemudian datang.
Akhirnya kapal milik Malin karam terbawa badai.
Serpihan kapalnya sampai ke depan rumah ibu Malin.
Di sana terdapat patung mirip sekali dengan Malin.
Ternyata, Malin telah dikutuk menjadi batu usai durhaka kepada ibunya.
Kesimpulan
Berikut adalah Cerita Rakyat Malin Kundang yang telah kita berikan.
Banyak pesan moral yang bisa kita ambil dari Cerita Rakyat Malin Kundang.
Seperti sikap Mande Rubiyah yang mengikhlaskan anaknya untuk pergi merantau demi kebahagian anaknya.
Sikap Malin Kundang yang penurut kepada ibunya dan kerja keras membantu ibunya.
Tapi jangan kalian tiru sikap durhaka Malin Kundang yang tidak mengakui dan malu kepada ibunya, karena dia memiliki istri yang kaya raya.
Karena Malin Kundang bisa sukses bukan hanya dari kerja kerasnya saja melainkan dari doa ibunya.
Jadi, jangan lah sampai kalian menjadi anak yang durhaka setelah kalian telah mendapatkan apa yang kalian inginkan.