Cerita Rakyat mengenai legenda Rawa Pening nampaknya tidak asing lagi di telinga kita.
Kisah dari seseorang yang terlahir dari sebuah rawa yang ada di desa Ngasem, Semarang ini tak hanya familiar di telinga penduduk sekitarnya.
Namun cerita ini terkenal sampai ke penjuru Indonesia mengenai legenda Rawa Pening yang masih selalu hangat diceritakan.
Bagi kalian yang ingin menyimak kisah tentang terbentuknya dan kisah legenda rawa pening. Simak cerita lengkap mengenai Legenda Rawa Pening dibawah ini.
Jika kalian sudah pernah berkunjung ke Semarang, apakah kalian juga sudah pernah menyinggahi salah satu tempat wisata di Semarang?
Salah satu tempat wisata tersebut adalah Danau Rawa Pening.
Danau inilah yang disebut – sebut sebagai sumber kebenaran tentang legenda rawa pening yang terletak di daerah Semarang ini.
Legenda Rawa Pening
Pada zaman dahulu, jauh sebelum kota Semarang belum menjadi ibu kota Jawa Tengah, hiduplah sepasang suami istri di desa Ngasem.
Sang suami bernama Ki Hajar sedangkan sang istri bernama Nyai Selakanta.
Mereka merupakan pasangan suami istri yang sangat harmonis dan saling menyayangi.
Tak pernah sedikitpun orang mendengar mereka berdua bertengkar.
Selain itu, pasangan Ki Hajar dan Nyai Selakanta ini dikenal oleh penduduk sekitar sebagai sosok yang pemurah, dermawan dan sangat baik.
Ia sering membagikan hasil pertaniannya kepada warga di sekitarnya.
Hal inilah yang menyebabkan tetangga – tetangganya gemar membantu mengerjakan lading milik mereka berdua.
Sayangnya, pasangan yang sangat sabar ini belum juga dikaruniai seorang anak.
Sehingga keduanya sangat merindukan kehadiran buah hati di tengah – tengah keluarga kecil mereka.
Bulan berganti bulan, tahun pun telah berganti namun pasangan ini masih belum diijinkan untuk memiliki seorang anak.
Hal ini yang kemudian membuat hati Nyai Selakanta amat bersedih.
Ia ingin sekali melahirkan seorang anak.
“Mengapa engkau menangis , Nyai?” Tanya Ki Hajar sambil menghampiri istrinya yang sedang tersedu di teras belakang rumahnya.
Namun Nyai Selakanta tak lekas menjawab malah menambah kencang suara tangisnya.
Hal ini justru tambah membuat Ki Hajar turut bersedih.
“aku ingin memiliki anak seperti tetangga kita Ki, rumahnya ramai, memasak untuk anak – anak, menyusui dan menggendong anak.” Kata Nyai Selakanta sambil sesenggukan di bahu suaminya.
Tak tega melihat istrinya sangat bersedih karena ingin memiliki anak, akhirnya Ki Hajar memutuskan untuk bersemedi ke gunung Temoloyo.
Gunung ini rupanya berletak cukup jauh dari rumah mereka.
Sebenarnya hati Nyai Selakanta tidak mengizinkan, namun Ki Hajar begitu bertekad karena ingin memiliki seorang anak.
Sesampainya di gunung Temoloyo, Ki Hajar mulai bertapa.
Bukan hanya sehari atau sebulan, namun bertahun – tahun ia bertapa tanpa lelah.
Tidak makan, tidak minum, maupun juga tidak bergerak dari tempat bertapanya.
Nyai Selakanta mulai gelisah menunggu suaminya yang sudah bertahun – tahun tidak pulang dari bertapa.
Namun, kabar gembira segera menyusulnya setelah Nyai Selakanta benar – benar hamil.
Di masa kehamilannya ia sangat menjaga, senang dan sangat menantikan kelahiran buah hati yang sedang dikandungnya.
Setelah 9 bulan, akhirnya Nyi Selakanta melahirkan.
Namun ia sangat terkejut mendapati anak yang dilahirkannya berwujud ular naga.
Ular naga ini bisa berbicara dan sangat menurut dengan ibunya.
Awalnya Nyai Selakanta tidak menginginkan anak tersebut.
Namun setelah anak naga itu menjelaskan banyak hal bahwa ia anaknya akhirnya Nyai menerima.
Kemudian anak tersebut diberi nama oleh Nyai yaitu Baru Klinthing.
Karena tak tahan dihina oleh tetangganya karena melahirkan anak seekor ular, akhirnya Nyai selakanta membawa pergi Baru Klinthing ke sebuah hutan untuk merawat anaknya ini.
Hari demi hari, Baru Klinthing beranjak remaja, dan diapun mulai bertanya perihal siapa sosok ayahnya.
Akhirnya, Nyai Selakanta membawanya ke tempat ayahnya bertapa yaitu Gunung Temoloyo.
Sesampainya di sana Nyai menjelaskan kepada Ki Hajar bahwa ular naga yang dibawanya itu adalah anaknya.
Alangkah kagetnya Ki Hajar, ia tidak percaya anaknya adalah seekor ular.
Kemudian Baru Klinthing berusaha meyakinkan ayahnya agar percaya dirinya adalah anak Ki Hajar dengan cara menunjukan tombak milik ayahnya.
Akan tetapi, Ki Hajar tak percaya begitu saja.
Kemudian ia menyuru Baru Klinthing untuk mengitari gunung Temoloyo.
Dengan kesaktiannya Baru Klinthing membuktikan kepada ayahnya bahwa ia bisa melakukan perintah itu.
Diputarinya Gunung Temoloyo dengan gigih oleh Baru Klinthing.
Setelah berhasil, barulah Ki Hajar percaya bahwa ular naga tersebut adalah anaknya.
Ki Hajar meneteskan air mata. Diapun Sedih, mengapa anaknya berbentuk ular.
Akhirnya, Ki Hajar memerintahkan Baru Klinthing untuk pergi ke bukit Tugur dan bertapa di sana.
Ini adalah satu – satunya syarat agar Baru Klinthing dapat berubah menjadi manusia.
Baru Klinthing pun menjalankah perintah ayahnya untuk bersemedi di bukit yang lumayan jauh dari tempat tinggalnya.
“ada ular naga! Mari kita tangkap untuk hidangan kita di pesta nanti malam.” Seru seorang pemburu.
Mereka adalah warga desa Pathok yang dimana penduduknya sangatlah angkuh.
Mereka sengaja berburu untuk pesta perayaan karena hasil panennya saat itu sedang melimpah ruah.
Mendengar ucapan para pemburu tersebut, Baru Klinthing merasa sangat ketakutan.
Ditangkapnya ular naga itu dan dipotong – potong lalu dimasak untuk hidangan pesta.
Saat sedang asyik menikmati hidangan pesta, tiba – tiba datanglah anak remaja laki – laki dengan tubuh tersayat mengeluarkan darah.
Baunya sangatlah amis dan menjijikan.
Lalu warga desa Pathok yang sombong itu mengusirnya.
Dengan sedih Baru Klinthing pun pergi.
Di separuh perjalanannya ia bertemu dengan janda tua bernama Nyi Latung.
Kepadanya ia bercerita perihal warga Pathok yang sombong dan suka menghina.
Dia pun ingin Nyi Latung memberi pelajaran kepada warga desa itu.
Akhirnya, Nyi Latung bersama Baru Klinthing mendatangi pesta itu.
“Hai, warga desa yang sombong! Tunjukkan kesaktian kalian jika kalian memang hebat!
Cabutlah lidi yang kutancapkan ini! Jika berhasil kalian boleh membuang anak ini!” seru Nyai Latung memberi pengumuman.
Satu persatu warga mencoba mencabutnya, sampai yang terkenal sakti juga mencobanya pun namun gagal.
Akan tetapi, hanya Baru Ginthinglah yang dapat mencabut lidi tersebut.
Saat berada dirumahnya, Nyi Lutung sudah bersiap menabuhkan penumbuk padi saat ada guntur.
Saat lidi tersebut tercabut, gunturpun menyambar dan Nyi Latung menabuh penumbuk padi.
Dari tanah bekas tancapan lidi tersebut keluarlah air dan terjadilah banjir yang menenggelamkan warga sombong itu.
Baru Klinthing mengubah dirinya kembali menjadi seekor ular naga dan berjanji akan menjaga danau tersebut yang sekarang ini dinamakan Rawa Pening.
Kesimpulan
Berikut adalah kisah legenda Rawa Pening yang dapat anda kisahkan untuk sang buah hati.
Kisah tersebut menggambarkan bahwa kesombongan akan menelan dirinya sendiri, sikap angkuh dan tak mau tolong menolong juga akan menyengsarakan dirinya sendiri.
Oleh sebab itu, teruslah menjadi orang yang baik yang selalu tolong menolong agar selamat dari bahaya seperti Nyi Latung.
Selalu menerima kenyataan apapun walaupun kenyataan tersebut sangatlah pahit seperti kisah Nyi Selakanta di Legenda Rawa Pening ini.
Dan jadilah anak yang berbakti dan selalu patuh dan berbudi kepada orang tuanya seperti Baru Klinthing.